Rabu, 27 Juli 2011

AKU MENCINTAINYA

KUAKUI BAHWA AKU MENCINTAINYA …
Ya, aku memang mencintainya. Aku mencintainya mengalahkan cinta seseorang kepada kekasihnya. Bahkan manakah cinta orang-orang yang jatuh cinta dibanding cintaku ini?!
Ya, aku mencintainya. Bahkan demi Allah, aku merindukannya. Aku merasakan sentuhannya yang lembut, menyentuh relung hatiku. Aku tidak mendengarnya melainkan rinduku seakan terbang ke langit, lalu hatiku menari-nari dan jiwaku menjadi tentram.
Aku mecintaimu duhai perkataan yang baik
Aku mencintaimu duhai perkataan yang lembut
Aku mencintaimu duhai perkataan yang santun.
Alangkah indahnya ketika seorang anak mencium tangan ibunya seraya berkata, “Semoga Allah menjagamu ibu”.
Alangkah eloknya ketika seorang ayah senantiasa mendo’akan anaknya, “Ya Allah ridhoilah mereka, dan bahagiakan mereka di dunia dan akhirat”.
Alangkah bagusnya ketika seorang istri menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman seraya berkata, “Semoga Allah tidak menjauhkan kami darimu, rumah ini serasa gelap tanpa dirimu”.
Alangkah baiknya ketika istri melepaskan kepergian suami bekerja di pagi hari, ia berkata, “Jangan beri kami makan dari yang haram, kami tidak sanggup memakannya”.
Kalimat dan ungkapan yang indah, bukankah begitu? Bukankah kita berharap kalimat dan ungkapan seperti ini dikatakan kepada kita? Bukankah setiap kita berangan-angan mengatakan kalimat-kalimat seperti ini kepada orang-orang yang dicintainya? Akan tetapi kenapa kita tidak atau jarang mendengarnya?
Penyebabnyanya adalah kebiasaan. Barangsiapa yang membiasakan lisannya mengucapkan kata-kata yang lembut berat baginya untuk meninggalkannya, begitu pula sebaliknya.
Orang yang terbiasa memanggil istrinya dengan kata “kekasihku” sulit baginya memanggil istrinya seperti sebagian orang memanggil istrinya, ‘Hei ..hai ..”. atau “Kau ..” dan lain sebagainya.
Barangsiapa yang terbiasa memulai ucapannya kepada anaknya, “Ananda, Anakku, Putriku” tidak seperti sebagian lain yang mengatakan, “Bongak .. jahat ..setan!” maka ia berat mengucapkan selain itu.
Kenapa kita tidak bisa mengucapkan satu ungkapan cinta saja kepada anak-anak kita, ibu kita, dan keluarga kita? Jika adapun kalimat tersebut keluar dengan malu-malu.
Kenapa lisanmu terkunci di dekat istrimu atau dihadapan ayah dan ibumu, sedangkan dihadapan temanmu, kata-katamu begitu mesra?!
Biasakanlah – misalnya- mengucapkan kepada ibumu, “Ibu, do’akan kami. Apakah ibu ingin titip sesuatu agar ananda beli sebelum ananda berangkat?”
Biasakanlah mengucapkan kepada anakmu kata-kata (sayangku, anakku) dan apabila ia mengambilkan sesuatu untukmu seperti segelas air katakana kepadanya Jazakallah atau ungkapan terima kasih.
Jika putra atau putrimu meminta sesuatu darimu dan engkau sanggup memberikannya serta itu baik untuknya katakanlah kepada mereka dengan tulus, “Dengan sepenuh hati, ayah akan bawakan untukmu”.
Cobalah kata-kata dan kalimat yang lembut dan senyuman yang manis, lalu lihatlah hasilnya!
Lihatlah bagaimana Nabi kita shollallahu ‘alaihi wa sallama berbicara kepada anak istrinya.
Perhatikanlah kelembutan hatinya, serta keindahan tutur katanya.
Beliaulah sebaik-baik suri teladan.

MASALAH-MASALAH KHITBAH DAN MAHAR

1.       CARA MEMILIH ISTRI
Telah shohih dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bahwasanya beliau menganjurkan menikahi wanita yang memiliki agama, memiliki sifat kasih-sayang dan subur. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan masalah memilih istri yang sholeh, disebabkan maslahat-maslahat kehidupan rumah tangga yang dipetik dari itu, serta pengaruhnya yang besar terhadap kesholehan dan keistiqomahan anak keturunan kelak.
Allah Ta’ala berfirman (artinya), “sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisa’ : 34)[1]
2.       TANGGUNG JAWAB WALI AMRI PEMUDI (GADIS) TERHADAP LAKI-LAKI YANG MAJU UNTUK MEMINANG PUTRINYA
Wali amri seorang pemudi wajib memilihkan untuk putrinya seorang laki-laki yang sepadan dan sholeh, dari orang-orang yang ia ridhoi agama dan amanahnya, berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama,
إذا أتاكم من ترضون خلقه و دينه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض و فساد عريض
“Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhoi akhlak dan agamanya maka nikahkanlah ia, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas”.[2]
Maka wali pemudi wajib bertakwa kepada Allah dalam masalah itu, dan menjaga maslahat putrinya bukan maslahat dia, sesungguhnya ia dibebani amanah dan kelak diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang Allah amanahkan kepadanya. Dan janganlah ia membebani peminang apa yang tidak dia sanggupi, seperti meminta mahar melebihi kebiasaan yang berlaku.[3]
3.       LANDASAN SEORANG PEMUDI DALAM MEMILIH SUAMINYA
Sifat-sifat yang paling penting yang karenanyalah seharusnya seorang pemudi memilih laki-laki yang datang meminangnya yaitu akhlak dan agama. Adapun harta dan nasab adalah masalah kedua, akan tetapi yang paling penting adalah hendaknya yang datang meminang adalah seorang yang memiliki agama dan akhlak. Karena seorang pria yang memiliki agama dan akhlak, wanita tidak akan kehilangan apa-apa darinya. Jika ia menahannya ia menahannya dengan baik, jika ia melepaskannya ia melepaskannya dengan baik pula. Kemudian laki-laki yang memiliki agama dan akhlak diberkahi Allah begitu juga anak keturunannya. Istrinya bisa belajar darinya akhlak dan agama. Adapun jika tidak memiliki agama dan akhlak, seorang wanita hendaknya menjauh darinya, khususnya sebagian orang-orang yang melalaikan sholat atau orang-orang yang dikenal suka meminum khomar, wal ‘iyadz billah.
Adapun orang-orang yang tidak sholat sama sekali, maka mereka adalah kafir. Wanita mukminah tidak halal bagi mereka sebagaimana mereka juga tidak halal bagi wanita mukminah. yang penting, seorang wanita menitik-beratkan pada akhlak dan agama. Adapun nasab jika di dapat yang memiliki nasab bagus tentu lebih utama. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda, “Apabila datang kepada kalian seorang yang kalian ridhoi akhlak dan agamanya maka nikahkanlah ia”[4].[5] bersambung)

[1] Al Lajnah Ad Daimah : 18447. [2] Hadits Hasan dikeluarkan oleh At Tirmidzi (1085) dari hadits Abu Hatim Al Muzani rodhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Al Albany di Shohih Sunan At Tirmidzi.
[3] Al Lajnah Ad Daimah : 20062.
[4] Lihat takhrij no 2.
[5] Ibnu Utsaimin, Fatawa Al Mar-atul Muslimah.

Ketika Syaikh al-Albani -rahimahullah- Menangis…

Tidak seperti persangkaan banyak orang, ternyata hati Syaikh al-Albani rahimahullah sangat lembut, dan air matanya sering bercucuran. Tidak diceritakan sesuatu yang membuat beliau menangis, melainkan tangisannya membuat beliau berderai air mata. Diantaranya:
1. Seorang wanita Jaza-iriyyah bercerita bahwa ia pernah melihat Syaikh al-Albani bertanya tentang jalan yang biasa di lewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ditunjukkanlah jalan tersebut kepada beliau. Lalu beliau pun berjalan di atas jalan itu, tidak menyalahinya. Beliau berderai air mata. Wanita tersebut tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Dengarkanlah di sini:
http://www.alalbany.net/audio/alalbany011.zip (not valid, mungkin linknya sdh di ganti - admin)
2. Di akhir perjumpaan saya dengan beliau rahimahullah, saya bercerita tentang mimpi yang dialami sebagian saudara kami. Dalam mimpi tersebut saudara kami melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika saya mendapat kesulitan mengenai sesuatu dalam hadits, kepada siapakah saya harus bertanya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bertanyalah kepada Muhammad Nashiruddin al-Albani.” Belum selesai saya bercerita, beliau telah menangis sejadi-jadinya. Beliau merulang-ulang memanjatkan do’a:
“Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira. Dan ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui.”
3. Sebagian saudara kami bercerita kepada Syaikh tentang ayahnya yang mencaci Rabb ‘Azza wa Jalla dan mencaci agama (islam) -kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut-. Maka Syaikh pun menangis, mendengar kekurang ajaran sebagian orang yang bersikpa buruk terhadap agama dan mengingat besarnya urusan ini pada hak Allah Ta’ala. Dan Syaikh al-Albani rahimahullah menghukumi bahwa ayah saudara kami ini telah murtad (keluar dari agama Islam) dan ia telah kafir.
4. Dan beliau rahimahullah menangis ketika sebagian saudara kami menyanjung beliau. Hal ini karena beliau mengakui kelalaian  diri beliau. Juga sebagia rasa tawadhu’ beliau di hadapan Rabb-nya Ta’ala. Dengarkan di sini:
http://www.alalbany.net/audio/alalbany012.zip (not valid, mungkin linknya sdh di ganti - admin)
Sumber: Disalin ulang dari buku “Mengapa Anda Sulit Menangis”, Abul Faraj al-Misri & Abu Thariq Ihsan b.Muhammad b.’Ayisy al-‘Utaibi, Pustaka Ibnu Umar, Hal.101-102. Judul asli: Al-bukaa-u min khasyyatillah, asbaabuhuu, wa mawaani’uhuu, wa thuruqu tahshilihii.

Terkadang Keshalihan Itu Tertular Dari Teman…

Dari Al-Mukhawwal diriwayatkan bahwa ia menceritakan ,
 “Buhaim Al-Ajali pernah datang kepada saya suatu hari dan berkata: ‘Apakah engkau mengenal seseorang yang engkau sukai dari tetangga atau sanak saudaramu, yang berkeinginan melaksanakan haji untuk dapat menemaniku?’
Aku (perawi) Menjawab: ‘Ada’
 Aku segera menemui seorang lelaki yang shalih dan baik akhlaknya, lalu keduanya aku pertemukan. Mereka pun bersepakat untuk pergi bersama. Kemudian Buhaim pulang menemui istrinya.
 Beberapa saat kemudian (sebelum pergi), si lelaki (yang akan menemani Buhaim) menemuiku dan berkata: ‘Hai kamu, aku senang kalau kamu menjauhkan sahabatmu itu dariku, agar mencari teman seperjalanan yang lain saja.’
Aku bertanya: ‘Kenapa rupanya? Sungguh aku tidak melihat orang yang setara dengannya dalam kebagusan akhlak dan perangai. Aku pernah berlayar bersamanya, dan yang kulihat darinya hanyalah kebaikan.’
Lelaki itu menjawab: ‘Celaka kamu, setahuku ia orang yang banyak menangis, hampir tak pernah berhenti. Hal itu akan menyusahkan kami sepanjang perjalanan.’
Aku menanggapi: ‘Engkaulah yang celaka, terkadang tangisan itu datang tidak lain hanyalah dari mengingat Alloh. Yakni, hati seseorang itu melembut, sehingga ia menangis.’
Lelaki itu menimpali: ‘Memang benar. Tetapi kudengar, terkadang ia menangis kelewatan sekali.’
Aku berkata: ‘Temanilah dirinya.’
Ia berkata: ‘Aku akan meminta pertimbangan dari Allah.’
Tepat pada hari keberangkatan mereka berdua, mereka menyiapkan unta dan memberinya pelana. Tiba-tiba Buhaim duduk di bawah pohon sambil meletakkan tangannya di bawah janggutnya dan air mata pun berlinang di kedua belah pipinya, lalu turun ke janggutnya, dan akhirnya menetes ke dadanya, sampai-sampai demi Allah kulihat air matanya membasahi tanah.
 Lelaki itu berkata: ‘Lihat, belum apa-apa sahabatmu itu sudah mulai (menangis), orang seperti itu aku tidak bisa menyertainya.’
‘Temani saja dirinya.’, pintaku.’Bisa jadi dia teringat keluarganya dan kala ia berpisah dengan mereka, sehingga ia bersedih.’
Namun ternyata Buhaim mendengar pembicaraan kami dan menanggapi: ‘Bukan begitu persoalannya. Aku semata-mata hanya teringat dengan perjalanan ke akhirat .’
Maka suara beliau pun melengking dengan tangisan.
Lelaki itu berkomentar: ‘Demi Allah, janganlah ini menjadi awal permusuhan dan kebencian dirimu terhadapku, tak ada hubungan antara aku dengan Buhaim. Hanya saja, ada baiknya engkau mempertemukan antara Buhaim dengan Dawud Ath-Tha’i dan Sallam Abu Al-Ahwash agar mereka saling membuat yang lainnya menangis hingga mereka puas, atau meninggal dunia bersama-sama.’
Aku terus saja membujuknya sambil berkata (pada diriku), ‘Ah, mudah-mudahan ini menjadi perjalananmu yang terbaik.’
Perawi menyebutkan, Lelaki itu adalah seorang yang gemar melakukan perjalanan panjang untuk berhaji, dan seorang lelaki yang shalih, namun di samping itu ia juga pedagang kaya raya yang rajin bekerja, bukan orang yang mudah bersedih dan menangis.
Perawi menyebutkan, lelaki itu menceritakan,”sekali inilah hal itu terjadi pada diriku, dan mudah-mudahan bermanfaat.”
Perawi menyebutkan, Buhaim tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu. Kalau ia mengetahui sedikit saja, niscaya ia tak pergi bersama lelaki itu.
Maka mereka pun berangkat berdua hingga melaksanakan haji dan pulang kembali. Masing-masing dari keduanya sampai tidak menyadari bahwa mereka memiliki saudara lain selain sahabat yang menemani mereka. Setelah tiba, aku menyalami lelaki tetanggaku itu.
Ia pun berkata: ‘Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu kepadaku. Tak kusangka, bahwa diantara manusia sekarang ini ada juga yang seperti Abu Bakar. Demi Allah, ia membiayai kebutuhan kami, sementara ia orang miskin, aku justru orang kaya. Beliau sudi melayani diriku, padahal beliau sudah tua dan lemah sedangkan aku masih muda dan kuat. Beliau juga memasak untukku, padahal beliau berpuasa sementara aku tidak.’
Aku(perawi) bertanya: ‘Bagaimana soal tangisan panjangnya yang tidak engkau sukai?’
Lelaki itu menjawab: ‘Akhirnya aku terbiasa dengan tangisan itu. Demi Allah, hatiku merasa senang, sampai-sampai aku turut menangis bersamanya, sehingga orang-orang yang bersama kami merasa terganggu. Namun kemudian demi Allah, mereka pun akhirnya terbiasa. Mereka juga turut menangis, bila kami berdua menangis. Sebagian mereka bertanya kepada yang lain,’kenapa orang itu (Buhaim) lebih mudah menangis daripada kita, padahal jalan hidup kita dan dia sama?’ Mereka pun akhirnya menangis, sebagaimana kami juga menangis.’
Perawi melanjutkan, ‘Kemudian aku keluar dari rumah lelaki itu untuk menemui Buhaim.
Aku bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu memberi salam: ‘bagaimana tentang teman berpergianmu?’
Beliau menjawab: ‘Sungguh teman yang terbaik. Ia banyak berdzikir, banyak membaca dan mempelajari Al-Quran, mudah menangis dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu’.”
(Shifat Ash-Shafwah,3/179-182.)
Sumber: Disalin ulang oleh al Akh Abu Abdillah Huda dari buku “Meneladani Akhlak Generasi Terbaik”, Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil & Baha’uddin bin Fatih Uqail, Penerbit Darul Haq.

Download Audio: ‘Aqidah Ahlussunnah Tentang Isra’ Mi’raj (Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas) (Penting!!!)

Quantcast
Alhamdulillah, berikut kami hadirkan rekaman kajian interaktif pembahasan Kitab Syarah ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah bersama Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang disiarkan live Radio Rodja 756 AM pada hari Sabtu, 02 Januari 2010.
Dengan pembahasan kitab masuk pada point ke 25 hal.272 tentang ” Isra’ Mi’raj “.
Ahlusunnah mengimani bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah di Isra’-kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu di Mi’raj-kan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar sampai ke langit ke tujuh, ke Sidratul Muntaha. Kemudian beliau shallallahu’alaihi wa sallam Memasuki Surga, melihat Neraka, melihat para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu dengan para Nabi, dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam mendapat perintah shalat lima waktu sehari semalam, dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam kembali ke Makkah pada malam itu juga. (Syarah ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal 272)
Semoga apa yang beliau sampaikan bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.
Silahka simak kajiannya dengan mendownloadnya pada link berikut:

Atau download dalam format mp3.zip Disini
~ Asy-Syafi’iyyah Singapore untuk Moslemsunnah.Wordpress.com ~

Download Audio: Keutamaan Taubat Kepada Allah (Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)


Quantcast
Alhamdulillah, berikut kami hadirkan rekaman kajian interaktif pembahasan Kitab Zuhud dan Raqaa’iq bersama Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat yang disiarkan live Radio Rodja 756 AM pada hari Selasa, 17 Mei 2011.
Masuk pada pembahasan ” Keutamaan Taubat Kepada Allah “
Semoga apa yang beliau sampaikan bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.
Silahka simak kajiannya dengan mendownloadnya pada link berikut:




Atau download dalam format mp3.zip Disini
~ As-Syafi’iyyah Singapore untuk Moslemsunnah.Wordpress.com ~

Download Audio: Menyambut Bulan Penuh Berkah (Ustadz Abdullah Taslim, MA) (Cileungsi, 19 Juli 2011)

1 Votes
Quantcast Berikut kami hadirkan rekaman kajian ilmiyah islam bersama Ustadz Abdullah Taslim, MA yang diselenggarakan di Masjid Al-Barkah Cileungsi, Bogor hari Selasa, 19 Juli 2011.
Tema pengajian yang beliau sampaikan adalah Menyambut Bulan Penuh Berkah.
Semoga penjelasan beliau dalam kajian ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Silakan download pada link berikut:





Atau download dalam format mp3.zip Disini
~ Salafiyunpad TM via Kajian.net ~

Download Khutbah Jum’at: Nasehat Menjelang Ramadhan (Ustadz Badrusalam,Lc) (Jum’at, 22 Juli 2011)

     Berikut ini kami hadirkan rekaman khutbah jum’at yang diselenggarakan di Masjid Al-Barkah Cileungsi, Bogor hari ini Jum’at, 22 Juli 2011. dengan khotib Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Tema khutbah yang disampaikan ” Nasehat Menjelang Ramadhan “.
Semoga nesehat yang disampaikan beliau bermanfaat untuk kaum muslimin.
Silahkan download pada link berikut:
 

Atau download dalam format mp3.zip Disini
~ Asy-Syafi’iyyah Singapore untuk Moslemsunnah.Wordpress.com ~

Download Audio: Untaian Mutiara Nasehat – Datangnya Bulan Mulia Ramadhan (Asy-Syaikh Prof. DR Abdurrazzaq Abdul Muhsin Al-Badr) (Jum’at, 22 Juli 2011)


Quantcast
Alhamdulillah, berikut kami hadirkan rekaman kajian interaktif Untaian Mutiara Nasehat bersama Asy-Syaikh Prof. DR Abdurrazzaq Abdul Muhsin Al-Badr yang disiarkan Radio Rodja 756 AM pada hari  ini Jum’at, 22 Juli 2011. Kajian ini diterjemahkan oleh Ustadz Firanda Andirja, MA
Pembahasan yang di sampaikan terkait dengan akan datangnya bulan suci Ramadhan, bulan penuh kemuliaan dan berkah, bulan pengampunan dan ladang pahala bagi siapa yang mau mendapatkannya.
Semoga apa yang beliau sampaikan beliau dapat menjadi motifasi untuk kita untuk merauk sebanyak-banyaknya pahala di bulan Ramadhan ini
Silahka simak kajiannya dengan mendownloadnya pada link berikut:

۞ Untaian Mutiara Nasehat – Marhaban Ya Ramadhan 1
۞ Untaian Mutiara Nasehat – Datangnya Bulan Mulia Ramadhan 2

Atau download dalam format mp3.zip Disini
~ Asy-Syafi’iyyah Singapore untuk Moslemsunnah.Wordpress.com ~

Berharap Jangan Sampai Tidak Diampuni Allah Di Bulan Penuh Ampunan | Untaian Artikel Ramadhan Bulan Penuh Berkah (Bag 4)

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Tulisan ini mengingatkan kepada kaum muslim, agar benar-benar menggunakan waktu di bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
Para pembaca yang budiman…
Di setiap malam bulan Ramadhan Allah Ta’ala mengampuni dan memerdekakan hamba-hamba-Nya dari api neraka…subhanallah, semoga kita termasuk di dalamnya. Allahumma amin.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِى مُنَادٍ يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ ».

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika pada awal malam bulan Ramadhan maka
1. para syetan dan pemimpin jin terbelenggu
2. dan tertutup pintu-pintu neraka dan tidak satu pintupun terbuka
3. dan dibukakan pintu-pintu surga dan tidak satu pintupun tertutup
4. lalu ada suara yang menyeru: “Wahai pencari kebaikan, sambutlah! Dan wahai pencari keburukan, cukuplah!
5. Dan Allah mempunyai orang-orang yang dimerdekakan dari neraka dan yang demikian itu pada setiap malam!”.
(Hadits riwayat Tirmidzi, dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’)
Oleh sebab inilah…
Jangan biarkan bulan Ramadhan ini berlalu begitu saja sebelum kita diampuni dan dimerdekakan oleh Allah Ta’ala dari api neraka.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَىَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ ».

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang disebutkanku, lalu dia tidak bershalawat atasku, Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya), Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang mendapati kedua orangtuanya lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al jami’)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم صَعِدَ الْمِنْبَرَ ، فَقَالَ : آمِينَ ، آمِينَ ، آمِينَ ، فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّكَ حِينَ صَعِدْتَ الْمِنْبَرَ قُلْتَ : آمِينَ ، آمِينَ ، آمِينَ ؟ قَالَ : إِنَّ جِبْرِيلَ آتَانِي فَقَالَ : مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغَفَرْ لَهُ فَدَخَلَ النَّارَ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ ، قُلْ آمِينَ فَقُلْتُ : آمِينَ ، وَمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ ، أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُبِرَّهُمَا فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ ، قُلْ : آمِينَ ، فَقُلْتُ : آمِينَ ، وَمَنْ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ فَأَبَعْدَهُ اللَّهُ , قُلْ : آمِينَ , قُلْتُ : آمِينَ.

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah naik ke atas mimbar, lalu bersabda: “Amin, amin, amin”, lalu beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika engkau naik ke atas mimbar, engkau mengucapkan: “Amin, amin, amin”, kenapa?”, beliau menjawab: “Sesungguhnya Jibril telah mendatangiku, lalu berkata: “Siapa yang mendapati bulan Ramadhan lalu tidak diampuni baginya, maka akhirnya masuk neraka dan dijauhkan Allah (dari surga), katakanlah: “Amin (Kabulkanlah, Ya Allah)”, maka akupun mengucapkan: “Amin”, lalu Jibril berkata lagi: “Siapa mendapati kedua orangtuanya atau salah satunya dan tidak berbakti kepada keduanya, lalu dia mati dan tidak diampuni baginya, maka akhirnya masuk neraka dan dijauhkan Allah (dari surga)”, katakanlah: “Amin”, maka akupun mengucapkan: “Amin”, Jibril berkata lagi: “Siapa yang disebutkan aku lalu dia tidak bershalawat atasku, lalu dia mati dan tidak diampuni baginya, maka akhirnya masuk neraka dan dijauhkan Allah (dari surga)”, katakanlah: “Amin”, maka akupun mengucapkan: “Amin”. (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’)
Maksud dari : “رغم أنف” (Sungguh sangat terhina dan rendah), ini adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan kepada kiasan tentang puncaknya kehinaan dan kerendahan seseorang karena dia tidak menggunakan kesempatan sebaik-baiknya. (Lihat kitab Mir’at Al Mafatih Syarh Misykat Al Mashabih, karya Ubaidullah Al Mubarakfury)
Maksud dari: “…seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya)”, adalah:
“Berlalu bulan Ramadhan sebelum diampuni baginya dosa-dosanya karena dia tidak bertaubat dan tidak mengagungkan bulan Ramadhan dengan bersungguh-sungguh di dalam ketaatan sehingga diampuni baginya dosa-dosanya”. (Lihat kitab Tuhfat Al Ahwadzi, karya Muhammad Al Mubarakfury)
“Sungguh terhina seseorang yang mengetahui bahwa, kalau dia menahan dirinya dari hawa nafsu selama sebulan pada setiap tahun, dan mengerjakan apa yang diwajibkan baginya yaitu berupa puasa dan shalat tarawih, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu, tetapi dia malah meremehkan dan tidak beribadah (sebagaimana mestinya), sampai selesai dan berlalu bulan tersebut. Maka siapa yang mendapati kesempatan yang sangat besar ini, yaitu dengan mengerjakannya karena iman dan mengharapkan pahala, maka Allah akan memuliakannya, sedangkan yang tidak mengagungkan-Nya maka Allah akan menghinakan dan merendahkannya”. (Lihat kitab Faidh Al Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, karya Al Munawi)
Para pembaca yang budiman…
Sekali lagi ketauhilah…semoga kita selalu dalam rahmat-Nya.
Bulan Ramadhan cuma sebulan, maka jangan biarkan dia berlalu tanpa kita isi dengan amal ibadah dan ketaatan kepada Allah karena iman dan berharap pahala dari-Nya.
Terakhir…sebagai peringatan! Hadits tentang bulan Ramadhan yang berbunyi:

وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Dan dia adalah bulan pertamanya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya kemerdekaan dari apin neraka”.
Hadits ini derajatnya mungkar, yaitu hadits lemah menyelisihi hadits yang shahih, karena di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jad’an, Imam Ahmad mengatakan dia adalah perawi yang lemah, Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Aku tidak bersandar dengan haditsnya karena lemahnya hapalannya”, disamping itu riwayat ini menyelisihi hadits shahih yang disebutkan di atas, yang mana kemerdekaan dari api neraka di setiap malam bulan Ramadhan. (Lihat kitab Silsilat Al Ahadist Adh Dha’ifah wa Al Maudu’ah, no. 871)
Wallahu a’lam.
Ahmad Zainuddin
Sabtu, 22 Sya’ban 1432H
Dammam, KSA

Download Audio: Kiat-Kiat Agar Dapat Merasakan Nikmatnya Ramadhan (Ustadz Abdullah Zaen, MA)



Quantcast
Berikut adalah rekaman kajian rutin bersama Ustadz Abdullah Zaen, MA yang diselenggarakan di Masjid Agung Purbalingga pada hari Rabu, 20 Juli 2011 pada kesempatan kali ini beliau menjelaskan tentang Kiat-Kiat Agar Dapat Merasakan Nikmatnya Ramadhan
Semoga pembahasan yang beliau sampaikan bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin.
Silahkan download kajianya pada link berikut:

Atau download dalam format mp3.zip Disini
~ Kajian.net via Abu Shobiyyah ~

Berbenah Diri Dengan Bulan Ramadhan



 Quantcast

Oleh: Ustadz Abdullah Taslim, MA
Allah Ta’ala telah mengutamakan sebagian waktu (jaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan sebagian manusia di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:

{وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ}

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS al-Qashash:68).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya), baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat”[1].
Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah ‘Azza wa jalla utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu rukun Islam.
Sungguh Allah Ta’ala memuliakan bulan yang penuh berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar untuk menggapai kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa untuk berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya[2].
Bagaimana seorang muslim menyambut bulan Ramadhan?
Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya dilipatgandakan amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung, di buka pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka[3].
Oleh karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan ingin meraih ridha-Nya.
Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhu akan kedatangan bulan yang penuh berkah ini[4].
Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya: “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga di buka pada bulan itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih baik dari seribu bulan, barngsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung)”[5].
Imam Ibnu Rajab rahimahullah, ketika mengomentari hadits ini, beliau rahimahullah berkata: “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin bertobat serta kembali kepada Allah Ta’ala) tidak gembira dengan ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira ketika para setan dibelenggu?”[6].
Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah ‘Azza wa jalla agar mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Ta’ala. Mu’alla bin al-Fadhl rahimahullah berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah Ta’ala mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)”[7].
Maka hendaknya seorang muslim mengambil teladan dari para ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan serta keridhaan dari Allah Ta’ala, agar di akhirat kelak mereka akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah ‘Azza wa jalla dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah”[8].
Tentu saja persiapan diri yang di maksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya.
Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [9].
Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat, tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya”[10].
Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”[11].
Meraih takwa dan kesucian jiwa dengan puasa Ramadhan
Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai takwa kepada Allah Ta’ala[12], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati[13]. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah:183).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala (semata), karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang tercela”[14].
Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:
  • Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah Ta’ala (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya).
  • Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala), maka dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), karena dia mengetahui Allah Ta’ala maha mengawasi (perbuatan)nya.
  • Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan (dalam diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh manusia di tempat mengalirnya darah[15], maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut.
  • Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta’ala), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.
  • Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa[16].
Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya”[17].
Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[18]. Bahkan Allah Ta’ala menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas[19], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya”[20].
Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas” (QS az-Zumar:10).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau rahimahullah: “Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah Ta’ala, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam (menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang yang berpuasa”[21].
Penutup
Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang disyariatkan-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan: Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”[22].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Kota Kendari, 6 Sya’ban 1431 H
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com dipublikasi kembali dari Ibnu Abbas Kendari
Catatan Kaki:
[1] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 622).
[2] Lihat kitab “al-‘Ibratu fi syahrish shaum” (hal. 5) tulisan guru kami yang mulia, Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad – semoga Allah Ta’ala menjaga beliau dalam kebaikan –
[3] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR al-Bukhari (no. 3103) dan Muslim (no. 1079).
[4] Lihat keterangan imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[5] HR Ahmad (2/385), an-Nasa’i (no. 2106) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab “Tamaamul minnah” (hal. 395), karena dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain.
[6] Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[7] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[8] HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
[9] Lihat kitab “Shifatu shalaatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” (hal. 36) tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
[10] HR Ahmad (4/321), Abu Dawud (no. 796) dan Ibnu Hibban (no. 1889), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban rahimahullah, al-‘Iraqi rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab “Shalaatut taraawiih (hal. 119).
[11] HR Ibnu Majah (no. 1690), Ahmad (2/373), Ibnu Khuzaimah (no. 1997) dan al-Hakim (no. 1571) dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, al-Hakim rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[12] Lihat kitab “Tafsiirul Qur’anil kariim” (2/317) tulisan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah.
[13] Lihat kitab “Manhajul Anbiya’ fii tazkiyatin nufuus” (hal. 19-20).
[14] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/289).
[15] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1933) dan Muslim (no. 2175).
[16] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 86).
[17] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 97).
[18] Lihat “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2623).
[19] Lihat kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
[20] HSR al-Bukhari (no. 1805) dan Muslim (no. 1151), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.
[21] Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
[22] HR at-Tirmidzi (no. 682), Ibnu Majah (no. 1642), Ibnu Khuzaimah (no. 1883) dan Ibnu Hibban (no. 3435), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, Ibnu Hibban rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah.

Penentuan Awal Ramadhan


Materi: Penentuan Awal Ramadhan Ikut Pemerintah atau Ormas Islam?
Narasumber: Ustadz Zainal Abidin, Lc. (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)

Pada video ini, Ustadz Zainal Abidin, Lc. menjawab sebuah pertanyaan klasik di negeri kita, yaitu tentang penentuan awal Ramadhan, apakah mengikuti keputusan pemerintah, ormas Islam, ataukah mengikuti negeri Arab Saudi? Semoga penjelasan singkah dari Ustadz Zainal dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kaum muslimin seputar penentuan awal Ramadhan.
Bagi para pengunjung Yufid.TV yang ingin bertanya tentang masalah-masalah agama kepada Tim Ustadz Website Yufid.TV, silakan kirimkan pertanyan Anda melalui form pertanyaan yang telah kami sediakan. Silakan klik http://konsultasisyariah.com/kirim-pertanyaan

Blogger Buzz: Express yourself with the Blogger Template Designer

Blogger Buzz: Express yourself with the Blogger Template Designer

NABI Shallalaahu alaihi wassallam MERUBAH NAMA-NAMA BURUK



٢٠٧ -كَانَ يُغَيِّرُ اْلاِسْمَ الْقَبِيْحَ إِلٰى اْلاِسْمِ الْحَسَنِ  
   
“Nabi Shallalaahu alaihi wassallam merubah nama yang buruk menjadi nama yang baik.”

Hadits ini ditakhrij oleh At-Tirmidzi (2/137), dan Ibnu Adi (245/2). dari Abubakar bin Nafi’ Al-Bashri yang memberitahukan: "Umar bin Ali Al-Maqdami dari Hisyam bin Urwa dari ayahnya. Murrah memberitahukan: "Hadits ini diriwayatkan dari Aisyah." Kemudian ia memauqufkannya (mengakui sebagai hadits mauquf) bahwa Rasulullah Shallalaahu alaihi wassallam bersabda: (ia menyebutkan sabda Nabi selengkapnya). At-Tirmidzi tidak memberi komentar tentang nilai hadits tersebut, sedang Ibnu 'Adi sendiri mengatakan:

"Para ulama mempertentangkan keadaan Hisyam bin Urwa. Ada yang me-mauquf-kannya (menilai haditsnya mauquf), ada yang mengirsalkannya (menilai haditsnya mursal) pula dan berkata: "Aisyah Radhiallahu anha" serta ada yang berkata: "Dari Abu Hurairah." Hadits Umar bin Ali ini bernilai hasan. Saya berharap hadits ini "la ba 'sa bihi" (tidak mengapa).

Saya berpendapat: Hisyam bin Urwa bisa tsiqah, tetapi ia mentadliskan (menyembunyikan kecacatan hadits) dengan cara yang sangat buruk, sehingga haditsnya tidak diperhitungkan, sebagaimana dijelaskan di dalam biografinya oleh Ibnu Hajar di dalam At-Tahdzib. Namun ia tidak mutafarrid, seperti yang akan saya jelaskan. Sedangkan perawi-perawi lainnya adalah tsiqah dan dipakai oleh Bukhari-Muslim. kecuali Abubakar bin Nafi’ yang nama aslinya adalah Muhammad bin Ahmad. Perawi ini hanya dipakai oleh Imam Muslim.

Hadits ini didukung oleh riwayat Syarik bin Abdullah Al-Qadhi juga, dengan redaksi:

٢٠٨ - كَانَ إِذَا سَمِعَ اسْمًا قَبِيْحًا غَيَّرَهُ فَمَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ يُقَالُ لَهَا عَفْرَةً فَسَمَّاهَا خَضْرَةً   
“Adalah Rasulullah, jika beliau mendengar nama buruk, beliau merubahnya. Ketika beliau melewati sebuah kampung bernama ‘Afrah, beliau merubahnya dengan nama “Khadhrah”.”

Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Mu'jam Ash-Shaghir (hal. 70) melalui jalur Ishaq bin Yusuf Al-Azraq, dari Syarik. Kemudian Ath-Thabrani mengatakan: "Yang meriwayatkannya dari Syarik hanyalah ishaq."

LARANGAN MENYENTUH WANITA YANG BUKAN MAHRAM



٢٢٦ - لأَنْ يُطْعِنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطِ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنَْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ   


" Seseorang ditusuk kepalanya dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ar-Ruyani di dalam kitab Musnad-nya (227/2), ia berkata: " Nashr bin AH telah meriwayatkan kepada kami, ia berkata: " Syaddad bin Sa'id telah meriwayatkan kepada kami dari Abul Ala' yang memberitahukan: "Ma'qal bin Yasar telah meriwayatkan kepadaku secara marfu ".

Saya berpendapat: Sanad ini jayyid ( bagus ). Semua perawinya tsiqah dan termasuk perawi-peraui Bukhari-Muslim. Kecuali Syaddan bin Sa'id. la hanya dipakai oleh Imam Muslim. Dia sedikit mendapatkan kritikan, namun tidak menjatuhkan haditsnya ke tingkat yang lebih rendah daripada hasan. Oleh karena itu. Imam Muslim hanya memakainya sebagai syahid. sedang Adz-Dzahabi di dalam Al-Mizan menilai: " la shalihul - hadits." Sementara AI-Hafizh di dalam At-Taqrib berkomentar: la jujur namun membuat kesalahan.

Abul Ala' adalah Yazid bin Abdillah bin Asy-Syakhir.

Mengenai hadits itu Al-Mundziri di dalam At-Targhib ( lihat juz III . hal 66 ) menyebutkan:

"Hadits itu diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi. Perawi-perawi yang dipakai oleh Ath-Thabrani adalah tsiqah dan shahih."

Hadits itu juga diriwayatkan secara mursal. dari hadits Abdullah bin Abi Zakaria Al-Khaza'i. Dia menuturkan: " Rasulullah Shallalaahu alaihi wasallam bersabda:
َلاَنْيَقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا يُخْلِصُ اِلٰى عَظْمِرَ أْسِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ تَضَعَ امْرَاَةٌ يَدَهَا عَلٰى رَأْسِهِ لاَتَحِلُّ لَهُ، وَِلاَنْ يَبْرُصَ الرَّجُلُ بَرَصًا حَتّٰى يُخْلِصَ الْبَرَصُ اِلٰى عَظْمِ سَاعِدِهِ لاَتَحِلُّ لَهُ

" Sungguh, jika seseorang dipukul sampai menembus tulang kepalanya adalah lebih baik daripada kepalanya disentuh oleh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya. Dan sungguh, seandainya seseorang menderita lepra yang parah hingga menembus tulang lengannya adalah juga lebih baik baginya, daripada ia membiarkan seorang wanita meletakkan lengannya ke alas lengannya, padahal wanita itu tidak halal baginya. "

Hadits ini ditakhrij oleh Abu Na'im di dalam kitabnya Ath-Thib ( 2/33-34 ) dari Hasyim dari Dawud bin Amer yang mengabarkan: Abdullah bin Abi Zakaria Al-Khaza’i telah meriwayatkannya kepadaku.

Saya berpendapat: Hadits ini mursal dan mu'dhal ( beberapa perawinya gugur secara berturut-turut ) masih diperparah lagi oleh Hasyim yang mudallis dan meriwayatkannya dengan cara an'anah.

Kata al-mikhyath. berarti jarum, paku dan sejenisnya yang dipergunakan untuk merajut atau menjahit.

Hadits itu mengandung ancaman yang berat bagi mereka yang menyentuh wanita yang tidak halal. Juga menjelaskan haramnya bersalaman dengan kaum wanita. Sebab tidak diragukan lagi bahwa dengan bersalaman pasti menyentuh kulitnya. Pada zaman modern ini. banyak yang melakukan-nya. Bahkan di antara mereka ada yang pendidikan agamanya kuat. Namun seandainya mereka mengingkari perbuatan itu. niscaya tidak terlalu parah kesalahannya. Tetapi kenyataannya banyak di antara mereka yang menganggapnya halal dengan alasan yang mereka cari-cari sendiri. Bahkan saya pernah mendengar. seorang guru ternama di Al - Azhar bersalaman dengan wanita. Hanya kepada-Nya-lah kita mengadukan keganjilan pelaksanaan ajaran agama ini.

Ironisnya ada beberapa kelompok Islam yang secara tegas memperbolehkan bersalaman antara laki-laki dan wanita. Mereka seharusnya segera sadar bahwa dalil yang mereka pakai sebenarnya tidak bisa diterima. Bahkan banyak hadits lain yang secara jelas menyatakan bahwa bersalaman antara laki-laki dan wanita tidak termasuk anjuran syara ". Insya Allah akan saya sebutkan beberapa di antaranya.


***

Selasa, 26 Juli 2011

Muqaddimah

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

اِنَّ الْحَمْدَاﷲِ نَحْمَدُهُ وًنَسْتَعِنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوْذُباﷲِ مِنْ سُرُرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّءَاتِ أََعْمَلِنَ ، مَنْ يَهْدِهِ اﷲُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ ، أَشْهََدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اﷲُ وَحدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً غَبْدُهُ وَرَسُوْلُ

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اﷲ حَقَّ تُقَاتِه وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ( ال عمران : ١۰٢)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُواﷲَ الََّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنََّ اﷲَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (النساء : ١)  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُواﷲَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا .  يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اﷲَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ( الاحزاب : ٧۰ - ٧١)

أَمَّا بَعْدُ

فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اﷲ وَخَيْرَهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّلاْءُمُوْرِ مُحْدلثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةً